Ga ada orang yang mau sakit. RALAT. Ga ada orang waras yang mau sakit. Alhamdulillah saya masih waras, walaupun ada beberapa kali, beberapa teman bilang, "gila lw!" he he he. Itu ga masuk hitungan ya....
Di Indonesia banyak jokes, salah satunya joke "orang miskin dilarang sakit." Yah, tergantung sikon sih, itu bisa dianggap joke bisa dianggap sindiran, secara.... biaya berobat mahal dan kalau 'terpaksa' dan sudah divonis harus dirawat, jangan harap bisa masuk melenggang santai kalau belum menyetorkan sejumlah uang dulu (ga semua rumah sakit memang, tapi kebanyakan seperti itu).
Sebenarnya pemerintah sudah cukup baik dengan menyediakan Puskesmas sebagai rujukan awal pasien yang hendak berobat ke rumah sakit besar. Walaupun obat yang diberi obat generik, tapi apalah bedanya dengan obat paten yang diberikan oleh dokter di rumah sakit besar ataupun dokter yang membuka praktek. Malah kadang obat yang diberikan oleh dokter praktek lebih karena 'request' dari perusahaan farmasi demi bonus yang akan diterima bila target terpenuhi.
Pertanyaan! Seberapa baik sih kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia? Siap-siap tau jawabannya ya... mengecewakan (atau justru itu 'predictable answer?' hehehe)
Cuplikan berita dari www.kabarindonesia.com yang berhasil di googling menyatakan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia adalah yang terburuk di ASEAN. Tolong ga perlu dibaca ulang. Sekali baca sudah cukup menyakitkan. Tapi itulah faktanya. Angka-angka ini bisa dijadikan supporting data dari berita tersebut (diambil dari situs yang sama):
KabarIndonesia - Usia harapan hidup penduduk Indonesia menurut WHO berkisar rata-rata 66,4 tahun. Angka ini jauh berada lebih rendah daripada angka harapan hidup Negara Vietnam rata-rata 69,6 tahun, Filipina rata-rata 68,3 tahun, Malaysia rata-rata 72 tahun, dan Singapura rata-rata 79,6 tahun. Sedangkan angka kematian ibu di Indonesia berjumlah 230 per 100 ribu kelahiran hidup, Vietnam 130, Filipina 200, Malaysia 41, Singapura 15. Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia berjumlah 39 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 31, Filipina 28, Malaysia 8, Singapura 3.
Banyak alasannya kenapa pelayanan di negeri kita (tercinta) bisa jadi terburuk, salah satunya ini nih... masih dinukil dari situs yang sama:
"Menurut dr. Nugroho Wiyadi, MPH, ada pelaku pelayanan primer yang secara profesi tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang memadai, sehingga penanganan penyakit tidak sesuai standar, dan sering terjadi pemakaian berbagai obat secara tidak tepat yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakefektifan biaya, dan juga masalah-masalah lain seperti resistensi obat akibat pemakaian obat antibiotik.
Pemahaman masyarakat yang lemah tentang sistem pelayanan kesehatan primer (puskesmas/Dokter Praktek Umum) dan sekunder (Rumah Sakit), mengakibatkan mereka tidak mengikuti sistem rujukan yang ada. “Masyarakat pada kelas ekonomi lemah cenderung memilih pelayanan kesehatan yang paling dekat dan murah, tidak peduli apakah petugas yang dia mintai pertolongan tersebut memiliki kewenangan dan kompetensi yang memadai. Sedangkan masyarakat pada kelas ekonomi menengah ke atas cenderung langsung memeriksa diri ke dokter spesialis dengan berbagai risiko ketidaktepatan pemilihan jenis dokter spesialis yang dipilihnya,” papar Nugroho."
Kalimat yang dicetak miring, secara ga langsung menyatakan "sering terjadi malpraktek."
Suka atau ga suka, kita sudah sering dengar atau baca tentang kasus malpraktek dan berbagai keluhan lain yang menyangkut masalah pelayanan kesehatan di Indonesia. Miris mendengar berita tentang mal praktek, dan lebih miris lagi bila kita menjadi salah satu korban dari mal praktek tersebut. Saya salah satu korbannya.
Awal tahun kemarin (2010) saya terserang sesak napas yang berat, berobat ke klinik 24 jam, dinyatakan asma dan diberi inhalasi (jujur, sesak ga berkurang, tapi hati sedikit riang karena dokternya caemmmmm banget), juga diberi obat oral untuk asma. Sekali minum, jantung saya berdegup cepat. Obat saya hentikan.
Beberapa hari kemudian, saya kembali ke klinik yang sama tapi ditangani oleh dokter yang berbeda, kali ini dokter sepuh, tapi sayang sekali bukan dokter yang sama :(. Saat itu saya berharap kalau dokter senior itu akan memberi solusi lebih baik. Tapi yang saya dapatkan malah diagnosa yang membuat saya heran: infark miokard. Saya, 28 tahun, dinyatakan infark miokard dan diberi obat jantung. Satu lagi, saat itu saya membawa hasil rontgen paru yang sebelumnya saya lakukan di klinik swasta, jadi bisa rontgen tanpa surat rujukan.
Beberapa kali saya konsumsi obat itu, sesak memang sedikit berkurang, tapi jantung terasa berat. Sampai pada klimaksnya, pagi buta, saya terpaksa dibawa ke RSUD yang 15 menit ditempuh dari rumah. Dada sebelah kiri terasa berat dan nyeri pada lengan kiri. Obat-obat dari klinik 24 jam dan hasil rontgen saya tunjukkan, dan petugas medis segera melakukan EKG. Hasil: Jantung normal senormal normalnya normal. Satu hal yang saya terekan jelas adalah ekpresi dari dokter jaga UGD yang keheranan melihat obat yang saya tunjukkan. Dia hanya berguman, "obat jantung. Di stop ya," katanya. I already did it, doc.
Pemeriksaan fisik normal, paru bersih, tapi dokter tetap merujuk saya ke pulmonologist karena sesak yang menetap. Saya nurut. Tokh RSUD tersebut cukup lengkap, pulmonologist ada, dan menurut jadwal, pulmonologist mulai praktek jam 7 pagi. Diulang: MULAI JAM 7 PAGI. Saat itu jam menunjukkan pukul 6.30 pagi. Saya pikir saya beruntung, hanya menunggu 30 menit. "Hanya", yah, 30 menit nunggu, itu normal lah... ditengah rubber watch culture.
Ternyata unfortune tetap ngintil (apa salahku......hix hix).
Jam bergerak perlahan ke jam 8. Pasien makin menumpuk. Kesabaran mulai habis. Loket saya datangi dan jawaban dari petugas, "dokter biasanya telat 2 jam." katanya dengan nada masam. "Dokter goblok!!!" 'Pujian' tersebut keluar otomatis dari hati saya yang paling dalam lalu kembali ke tempat duduk. Pasrah.
Petugas tersebut benar, pukul 9, seorang laki-laki tegap berjalan bergegas melewati pintu masuk klinik paru. Tebakan saya, itu dokternya. Saya ga salah.
Menunggu lagi sekitar 30 menit untuk dipanggil, pasien makin menumpuk. Pikiran saya bisa-bisa sampai sore nih dokter kalau pasiennya sebanyak ini, konsul bisa-bisa 10 menit lebih, lalu dikalikan sekian puluh pasien, hasilnya? Banyak!!
Tapi khusnodzon tidak perlu, karena saya salah besar!
Ketika nama saya dipanggil, saya hanya mengambil file saya dan.... duduk menunggu kembali! Sekitar 10 menit kemudian, saya masuk ke salah satu ruang praktek, ternyata dokter yang super duper telat tersebut. Khusnudzon tidak berlaku sama sekali, karena dokter hanya bicara seadanya dan menayakan yes/no questions. Saya mencoba menguraikan hal yang saya rasakan sebelumnya dan yang saya rasakan saat itu. Tapi sikap seorang ahli paru tersebut jauh dari sikap yang diharapkan. He was totally not a good listener. Pemeriksaan fisik dilakukan hanya sebatas memeriksa paru dan itupun dalam keadaan duduk.
Kurang dari 5 menit, saya sudah di luar ruang praktek dokter tersebut dengan resep di tangan. Ga ada yang lebih ingin saya lakukan selain pulang dan istirahat meredakan emosi.
Saya masih beruntung karena saya masih lebih muda daripada banyak pasien di luar klinik yang masih menunggu. Banyak dari mereka orang tua dan anak-anak dalam kondisi fisik lebih lemah dari saya saat itu. Entah apa yang ada dalam pikiran dokter dan segenap manajemen RSUD tersebut.
Dalam waktu kurang dari satu jam, impian saya untuk istirahat di rumah terwujud. Tapi satu pikiran membuat saya terjaga sebelum akhirnya tumbang tertidur efek dari obat penenang yang diberikan oleh dokter paru sang dokter telat.
Beberapa hari berselang, ketika pikiran sudah agak fresh, walau nafas masih berat, saya memaksakan diri pergi ke klinik tempat saya didiagnosa infark miokard. Saat itu kondisi sedikit flu, sebuah alasan untuk melihat file saya di sana. Saya tidak berniat untuk mengkonsumsi obat yang akan diberikan. Sama sekali.
Beruntung, dokter yang praktek saat itu adalah dokter caem sebelumnya, jadi, yah, bisa dibilang saya sedikit terobati lah... (pasien ganjen!!! Tapi cuci mata woi!). Sekitar 5 menit lebih saya menunggu sang resepsionis mencari file lama saya. Tapi tidak ditemukan. Akhirnya, saya memakai file baru. Saya hanya tersenyum sedih. Data kesehatan hilang. Bahkan sampai sekarang. Beberapa kali saya berobat ke tempat tersebut masih dengan file yang baru tersebut, dengan menelpon sebelumnya pastinya, untuk memastikan bahwa saya tidak akan ditangani oleh dokter sepuh tersebut. Ga harus dengan dokter caem ntu, yang penting bukan dokter sepuh tersebut. Harga Mati!)
Sesak masih saya rasakan sampai sekarang, terutama ketika stress berat. Tapi sekarang saya cenderung memilih pengobatan tradisional dan secara agama. Hasilnya mungkin tidak bisa secepat pengobatan modern, tapi keamanan lebih saya rasakan. Maaf, saya bukan membujuk untuk beralih ke tradisional, walaupun pengobatan tradisional sudah dibuktikan dengan riset bisa lebih efektif dan aman dari medis, tapi kadang pola pikir kita sudah dikuasai oleh pikiran bahwa modern medication dengan obat lebih baik, jadi, up to u, all readers.
Pulmonologist dari RSUD tersebut hanya memberi saya obat penenang. Dia dokter pintar, harus saya akui, karena bisa melihat dan membaca adanya masalah pada sisi psikis pasien walaupun dengan gesture yang menyebalkan. Dia tahu pasiennya "hanya" terbebani secara psikis dan bukan fisik. Tapi sayang, hanya sebatas itu hal positif yang bisa digali dengan susah payah dan itupun butuh waktu sekian minggu.
Saya hanya satu dari sekian banyak orang korban dari malpraktek. Jadi maaf, saya harus setuju bila ada yang berpendapat bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih buruk. Mungkin ini hanya satu cerita dan bisa jadi beberapa orang menganggap ini sangat subjektif. Tapi sekali lagi, maaf, satu nyawa mungkin tidak berpengaruh pada keseimbangan dunia secara global, tapi satu nyawa bisa menghancurkan dunia kecil dari beberapa individu.
Tolong, hargai nyawa. Ingatlah sumpah dan terikatlah dengan sumpah. Bukan semata uang.
Salam Sukses
saya tambal gigi saya di puskesmas, sudah lama, sakit , seperti dokternya baru pegang alat, dokternya seorang wanita muda. baru juga 1bulan sudah bolong lg. beda sekali saat saya ke dokter speasialis, dari SMP smpe skrg saya kuliah masih menempel. ya inilah indonesia, tambah judes2 dokternya. sungguh payah banget. bangetnya banget.
BalasHapus