Jakarta kota kecil dengan penduduk yang besar. Kurang lebih 9 juta orang tinggal di daerah yang luasnya kurang lebih 661,25 km2 dan berarti dihuni sekitar 12.951 jiwa/ km. Padat. Arus urbanisasi yang belum juga bisa dibendung pemerintah membuat jumlah penduduk Jakarta semakin meledak. Hal ini sangat terasa sekali kalau kita menyempatkan diri melihat keadaan di terminal Pulo Gadung. Satu orang pergi meninggalkan Jakarta, beberapa belas datang dengan harapan untuk merubah keadaan ekonomi keluarga dengan modal tekad yang kadang kala kempis di tengah jalan.
Makin banyak orang, berarti persaingan semakin ketat, itu hukum alam yang bahkan sudah kita pelajari sejak kita duduk di bangku SD. Makin banyak penduduk yang bermukim di Jakarta, makin sempit lapangan kerja yang tersedia, makin besar kemungkinan tuk menjadi penganggur. Sekedar tambahan, jumlah penganggur di Indonesia sudah mencapai 9.39 juta jiwa (per Agustus 2008) atau 8.39% dari total angkatan kerja (Tempointeraktif.com).
Banyak cara yang bisa dilakukan orang untuk survive, mulai dari struggle untuk mencari pekerjaan halal at any cost, ataupun dengan jalan pintas seperti merampok, mencuri, berjudi (walaupun ini kemungkinannya kecil, tapi toh kemungkinan tetap kemungkinan, patut dicoba, JIAO!!!), sampai dengan bisnis esek-esek atau prostitusi.
Bicara tentang prostitusi, ada hal menarik yang saya temukan ketika melewati Cipinang beberapa hari yang lalu. Menarik karena sebelumnya, entah berapa puluh kali melewati daerah itu, saya tidak menaruh perhatian lebih tehadap aktifitas "waving toward the bikers or the drivers" tersebut. Tapi berhubung malam itu kurang kerjaan, saya lambatkan laju sepeda motor demi melihat "pajangan" hidup di pinggir jalan remang-remang.
Pikiran yang pertama timbul ketika melihat pemandangan dan penampilan mereka adalah, "kok kuat yaaa melawan hawa malam yang panas tapi dingin plus ditambah asap knalpot, khusunya knalpot metro mini yang terkenal kejam menyemprot siapa saja yang berani berada dibelakangnya." Mungkin terdengar silly, tapi itulah pikiran seorang penderita asma yang bosan dengan asap knalpot.
Sengaja saya sedikit mengendara ke pinggir, demi melihat lebih jelas pelaku "bisnis" esek-esek tersebut. Beberapa dari mereka masih muda, bisa jadi jauh di bawah saya, walaupun sudah ditutupi sedemikian rupa dengan make up yang tebal, tetap bisa terlihat. Ada juga wanita setengah baya yang ikut andil meramaikan persaingan tersebut, yang dengan kasus make up yang sama, gagal menutupi usia mereka. Tapi bukan itu pointnya, sebenarnya. Itu cuma opini tambahan tapi berguna, semoga.
Beberapa pengendara sepeda motor berhenti dan sepertinya terjadi tawar-menawar. Waktu itu, saya tidak melihat ada pengendara yang berhasil meraih tawaran harga dari kupu-kupu malam yang mereka taksir. Entah berapa tarif yang mereka pasang dan entah berapa kisarannya.
Makin jauh mengendara, makin terasa kalau bisnis ini "mampu" memperkerjakan banyak orang. "Mampu" disini bukan pujian, tapi bentuk keprihatinan dari seorang perempuan dan dari salah seorang pendatang di Jakarta. Sedikit demi sedikit berbagai perasaan muncul: miris, prihatin, kasihan, salut, geli, dan terakhir, kesal.
MIRIS, PRIHATIN, KASIHAN apapun namanya tetap satu akar di bawah "simpati", tapi hanya sekedar sampai disitu. Berhenti di kata "simpati", karena saya tidak bisa berbuat sesuatu. Bagaimanapun mereka perempuan yang kemungkinan besar bisa terkena PMS dan kemungkinan besar juga, tidak ada asuransi yang memback- up mereka ketika mereka sakit, dan ada saatnya, mereka "pensiun" dan,... puff... semua hilang. Uang maupun kemungkinan tuk mendapatkan uang dari pekerjaan mereka saat ini. Tapi sukur-sukur mereka sudah merencanakan masa depan dengan cara mereka sendiri.
Perasaan lain, SALUT, muncul ketika melihat beberapa perempuan setengah baya ikut dalam persaingan tidak seimbang itu. Entah apa yang ada di pikiran mereka dan entah apa yang ada di pikiran anak-anak mereka, kalau mereka punya. Tapi, seorang ibu pada dasarnya tidak ada yang tega melihat anak-anaknya menderita, apapun akan dilakukan, mungkin untuk mereka, jalan seperti itu yang mereka bisa lakukan saat ini. I don't and I cannot blame, and I don't have right to blame.
Hal yang lain lagi yang saya perhatikan adalah, banyak dari mereka berbody bohay, alias montok menggoda. Kalau ini sudahlah, tidak perlu banyak koment, toh banyak dari kita sudah bisa membayangkan hal itu. Berbeda sekali dengan bayangan saya tentang mereka yang berbodi langsing aduhai. Ternyata, hidup itu lebih berwarna dari yang saya kira.
Makin jauh mengendara, makin dalam saya memikirkan kenapa tidak ada yang berpenampilan "perfect" seperti "putri iklan"-nya ST 12. Tak lama berselang, jauh di depan, saya menangkap suatu bayangan perempuan berbaju putih ketat dan hotpants ketat menggoda, kulit bersih, rambut lurus pirang sebahu tertata rapi dengan semangat melambai ke arah lalu lintas malam yang tidak pernah mati.
Sekejap saya heran karena tidak ada pengendara yang berhenti pada saat itu to take this person, karena saya pikir, wuih... modal ada, tapi pikiran itu tak lama, karena semakin mendekat, saya mendapatkan jawaban: dia seorang laki-laki, or lebih tepatnya "Lady Boy."
Saya tertawa GELI sambil tancap gas, ambil sen kanan lalu berbelok dan berhenti beberapa meter kemudian karena lampu lalu lintas menyala merah sambil terus tertawa dalam hati. Konsentrasi terbelah. Lampu berganti hijau, tancap gas, hati masih terasa geli, tapi cuma beberapa saat karena kemudian saya menyadari kalau seharusnya saya melewati satu lampu merah satu lagi. KESAL, karena terkecoh waria, saya harus memutari camat Pulo Gadung lalu lewat Rawamangun untuk kembali ke jalan yang benar demi mencapai Klender.
Salam Sukses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar